Biodata M. Hidayat Nahwi Rasul
M. Hidayat Nahwi Rasul lahir di Makassar pada tanggal 26 April 1961. Masa kecilnya dilalui di Ma-kassar. Sejak kecil Hidayat sudah gemar meng-utak-atik barang elektronik. Tak heran jika usai meraih gelar Sarjana Publisistik di Universitas Ha-sanuddin pada tahun 1988, Hidayat lebih memilih dunia telekomunikasi dan teknologi informasi.
Karirnya sebagai praktisi teknologi informasi di-mulai di Bandung, Jawa Barat. Selama sebelas ta-hun berada di Kota Kembang itu, ia merintis karir dari nol dan ditempa dengan keras. Awalnya, ia bekerja sebagai tenaga marketing di salah satu perusahaan yang memasarkan produk telekomu-nikasi.
Berburu ilmu di bidang teknologi informasi terus dilakukannya. Hidayat juga mengikuti seminar dan eksebisi di luar negeri, diantaranya Taiwan dan Singapura. Karirnya semakin cemerlang saat kembali ke Makassar. Berkat profesionalismenya, ia pun menjalin kerjasama dengan operator selu-lar, kampus, media cetak, dan sejumlah instansi lainnya.
Kiprahnya itu semakin mengukuhkannya di ling-kungan teknologi informasi dan telematika se-hingga membawanya sebagai Ketua Forum Tele-matika Kawasan Timur Indonesia. Lalu, bersama-sama dengan koleganya sesama alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin Hidayat mendirikan Center of Information and Communication Studies (CICS). Disini Hidayat menjabat sebagai Direktur.
Perhatiannya di bidang penyiaran mengantarnya menjadi Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan periode 2004 – 2007. Selama menjabat Wakil Ketua KPID Su-lawesi Selatan, pemikirannya dicurahkan penuh bagi lembaga negara independen itu. Sehingga Hi-dayat juga menjadi Ketua Desk Monitoring yang membawahi Bidang Monitoring dan Pengaduan Masyarakat serta Bidang Edukasi dan Literasi KPID Sulawesi Selatan.
Maraknya tayangan televisi yang tidak mendidik menjadi keprihatinan Hidayat selaku Anggota KPID Sulawesi Selatan. Media terkadang hanya berorientasi profit sehingga publik dikorbankan. Atas dasar itulah KPID Sulawesi Selatan menca-nangkan program Gerakan Menonton Sehat (GeMeS) dan menetapkan Hidayat sebagai Ketua GeMeS.
Bersama seluruh Anggota dan Staf Sekretariat KPID Sulawesi Selatan, Hidayat sukses memimpin perguliran GeMeS secara berkesinambungan. Hingga akhirnya GeMeS mendapat dukungan dari KPI Pusat dan dijadikan program nasional.
Masyarakat dan wartawan di Sulawesi Selatan, khususnya Makassar, mengenal sosok M. Hidayat Nahwi Rasul sebagai seorang praktisi teknologi informasi. Kiprahnya itu semakin mengukuhkannya di lingkungan teknologi informasi dan telematika sehingga membawanya sebagai Presiden Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia. Dalam beberapa kali wawancara dengan wartawan, eksistensinya tidak pernah terlepas dari dunia teknologi informasi di Sulawesi Selatan. Baginya, teknologi informasi merupakan jalan pintas yang elegan untuk memajukan bangsa ini, melihat kenyataan banyaknya distorsi yang terjadi akibat transaksi yang dilakukan secara manual di hampir segala bidang.
Belakangan, Hidayat pun tidak bisa dipisahkan dari dunia penyiaran. Sebagai narasumber, sosok Hidayat tak pernah luput dari kejaran wartawan di Makassar yang ingin mengangkat tema penyiaran di Sulawesi Selatan. Perhatian Hidayat terhadap dunia penyiaran, khususnya di Sulawesi Selatan, bermula sejak berkembangnya era penyiaran amatir di tahun 1980-an. Meskipun sempat terlibat dan berjuang bersama para penyiar amatir waktu itu, Hidayat memutuskan untuk tidak berkipah lebih jauh di bidang penyiaran. Namun demikian, perhatiannya terhadap dunia penyiaran tidak pernah lepas sehingga dia terpilih sebagai Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2004. Sebagai alumnus Jurusan Publisistik FISIP Unhas, bidang penyiaran tentu tak asing lagi bagi Hidayat. Lebih jauh, Hidayat melihat bahwa penyiaran merupakan lingkungan yang strategis dan harus dijaga agar bangsa ini tidak kebablasan di semua bidang.
Sejak mahasiswa, pemikirannya yang cenderung berseberangan dengan kepentingan penguasa saat itu dan dengan gaya yang meledak-ledak membuat Hidayat selalu menjadi motivator bagi kegiatan yang dilakukan di lingkungan kampusnya. Saat itu, peran mahasiswa sebagai salah satu agen pembaharu benar-benar terasa dengan berkembangnya kelompok-kelompok diskusi yang selalu mengamati, membahas, dan mengkritisi fenomena-fenomena sosial dan politik yang berkembang. Ketika berlaku regulasi soal pertukaran komoditas ekspor Indonesia dengan film Hollywood, misalnya, kelompok mahasiswa Hidayat dengan tegas menolaknya. Hidayat melihat regulasi itu sebagai keran masuknya budaya asing yang dapat menghancurkan sendi-sendi budaya bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Semua itu terbangun berkat idealismenya yang selalu ingin agar hak-hak masyarakat lebih dikedepankan sehingga tercipta keberadaban publik (public civility).
Dalam suatu kesempatan, Hidayat pernah mengikuti sebuah diskusi yang mengangkat tema ruang publik. Dirinya semakin sadar bahwa ruang publik sesungguhnya bukan hanya ruang fisik berupa sarana yang terbuka bagi masyarakat. Lebih dari itu, dan baginya ini yang terpenting, ada ruang publik lain yang sebenarnya harus mendapat perhatian lebih, yakni berupa frekuensi. Menurutnya, media penyiaran merupakan salah satu medium ruang publik. ( www.hidayatnr.org)
M. Hidayat Nahwi Rasul
0 comments:
Post a Comment